SETENGAH DIN

Apakah yang tercerabut dari dunia perempuan saat mereka menikah? Time for themselves kata beberapa orang teman. Benarkah? Beberapa komentar di atas boleh jadi tidak mewakili semua perempuan yang berubah status dari gadis menjadi istri, tetapi itu adalah kenyataan subyektif yang dia mengada walau belum tentu menjadi fenomena.

Kesepian di tengah kehangatan yang semula mereka harapkan saat menerima pinangan seorang laki-laki adalah kenyataan yang sering terjadi di awal-awal pernikahan, boleh jadi akan menghilang setelah penyesuaian-penyesuaian tetapi bisa juga menetap ketika tidak terjadi kompromi di antara pasangan suami istri.

Persepsi yang salah tentang pernikahan. Konsep setengah diin dipahami secara salah, bahwa dengan menikah kita telah sempurna.
Bukankah rasulullah mengatakan setelah mendapatkan setengah diin (menikah) maka kita harus bertakwa dengan setengahnya.

Maka, ketika kita menganggap bahwa setelah pernikahan kita menjadi sempurna, kita lalu secara bawah sadar akan menganggap bahwa: suami -dengan predikat shalehnya- pastilah seseorang yang mengerti hak-hak istri, bahwa istri -dengan predikat shalehahnya- pastilah seseorang yang mengerti hak-hak suami.

Maka berjalanlah kita dengan persepsi-persepsi kesempurnaan, harapan-harapan berlebihan yang
akhirnya patah ketika menemui kenyataan. Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Just cry in the wilderness seperti yang dilakukan beberapa teman penganti baru, mengeluh pada saya, lalu bebannya menjadi terangkat? Walau kemudian ia potensial untuk muncul kembali? Atau melakukan perubahan dalam interaksi-interaksi kita dengan pasangan walaupun perubahan bukanlah sesuatu yang mudah?

Persepsi bahwa pasangan kita adalah sempurna sebab ia adalah seseorang yang shaleh (shalehah)
adalah sesuatu yang kurang tepat. Sebab tidak seorang pun dipersiapkan dengan matang untuk
mengarungi bahtera rumah tangga. Sebab semula kita dan pasangan adalah seorang yang asing maka kita tidak pernah tahu secara sempurna, kebiasaan-kebiasaannya, harapan-harapannya, kesukaankesukaannya secara persis. Maka salah satu yang bisa kita lakukan adalah embicarakannya kemudian mengompromikannya, let’s compromize!

Meskipun dalam persepsi para istri “cinta tak pernah meminta” tetapi untuk kompromi istri harus berlatih untuk meminta, katakan pada suami: “ Mas sayang, maukah memijit punggungku, rasanya pegal sekali…” Semoga ketika mendengar permintaan ini, para suami ingat bahwa sesungguhnya tugas-tugas rumah tangga (mencuci, memasak, mengepel dll) bukanlah kewajiban istri, tetapi itu dilakukan semata-mata karena cinta. Semoga para suami ingat bahwa memijit punggung istri tidak akan mengurangi keqowamannya, bahkan mungkin menambah sebab cinta adalah hal yang paling mendasar dalam legitimasi kepemimpinan setelah kapabilitas. Semoga suami ingat bahwa dengan meminta seperti ini istri sedang mengubah persepsinya bahwa jika cinta tentu tak perlu diminta,

Maka suami akan menyambut permintaan istri dengan empati: “Mari sini, iya Mas tahu, pasti capek
mengerjakan semuanya sendirian, mana khadimat pulang…” Bagi para istri, meski tampak sangat ideal
bahwa seseorang yang kita cinta (suami) menjadi sempurna sebagaimana bayangan-bayangan kita
sebelum menikah, tetapi demi sebuah kebutuhan asasi seorang pria untuk dikagumi, dipercayai, dihargai, dan disetujui janganlah pernah mewajibkan diri untuk mengubah para suami, karena mereka akan merasa dilecehkan dan tidak dihargai. Kalaupun ada kebiasaan suami yang begitu buruk, cobalah meminta dengan kata-kata yang penuh penghargaan, “Maukah Mas…”, “Bersediakah Abang…” atau secara konsisten memberikan contoh tanpa kata-kata. Sebab bagi umunya laki-laki adalah sebuah aib jika ia tampak salah dan lemah dimata kekasihnya.
Jika demikian… Setengah diin yang disuruh-Nya kita bertaqwa sedang kita upayakan. Dalam rentang jarak perkawinan yang tak terpisahkan. Ever and after.