Mencukur Rambut Bayi kemudian Sedekah Perak Seberat Rambut

Salah satu sunnah ketika bayi yang baru lahir adalah mencukur rambut bayi tersebut. Rambut yang dicukur kemudian ditimbang, berat rambut tersebut diukur dan disedekahkan perak (atau senilai perak) dari ukuran berat rambut tersebut.

Ini berdasarkan perintah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah,

عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحَسَنِ بِشَاةٍ وَقَالَ يَا فَاطِمَةُ احْلِقِي رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِي بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً قَالَ فَوَزَنَتْهُ فَكَانَ وَزْنُهُ دِرْهَمًا أَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meng-aqiqahi Hasan dengan kambing, kemudian berkata kepada Fatimah, ‘Cukur rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambut itu.’

Fatimah pun menimbang rambut itu, dan beratnya sekitar satu dirham atau kurang dari satu dirham.”[1]



An-Nawawi menjelaskan,

واعلم أن هذا الحديث روي من طرق كثيرة ذكرها البيهقي ، كلها متفقة على التصدق بزنته فضة

“ketahuilah bahwa hadits ini diriwayatkan dengan banyak jalan sebagaimana disebutkan oleh Al-Baihaqiy. Semuanya sepakat sunnah bersedekah dengan seberat timbangan perak.”[2]

Demikian juga Ibnu Qudamah menjelaskan,

يستحب أن يحلق رأس الصبي يوم السابع, ويسمى; لحديث سمرة. وإن تصدق بزنة شعره فضة فحسن

“Disunnahkan mencukur rambut bayi pada hari ke tujuh dan diberi nama sebagaimana pada hadits Samrah. Jika bersedekah dengan perak seberat perak tersebut maka ini baik.”[3]

Caranya bagaimana?

Perlu diketahui di zaman dahulu perak adalah alat tukar mata uang, sehingga di zaman ini perak bisa dikonversi sejumlah uang. Rambut bayi dicukur gundul, kemudian berat rambut ditimbang, misalnya di dapatkan beratnya 2 gram dan harga perak di zaman ini Rp. 14.000,- maka yang disumbang adalah:

2 x Rp. 14.000,- = Rp.24.000,-

Disumbangkan kepada orang miskin

Bagaimana jika rambut bayi tidak dicukur?

Jika tidak dicukur karena udzur atau penyakit, bisa diperkirakan berat rambut bayi tersebut kemudian disedekahkan dengan perak.

Dalam ensikolpedia fikh Al-Kuwaitiyyah dijelaskan,

وإن لم يحلق تحرى وتصدق به

“Jika tidak dicukur gundul maka diperkirakan beratnya dan disedekahkan.”[4]

Apakah bisa pakai seberat emas?

Pendapat terkuat adalah seberat perak, karena sesuai dengan dzahir hadits. Adapun Fatimah yang menggunakan dirham (emas), itu karena keragu-raguan perawi maksudnya bisa jadi perak.

Ali bin Sulthan Al-Qariy menjelaskan,

يحتمل أن يكون شكا من الراوي

“Bisa jadi (penyebutan dirham pada hadits) adalah ragu-ragu dari perawi.”[5]

Akan tetapi kita hormati mereka yang berpendapat bisa juga menggunakan emas, karena ada juga ulama yang berpendapat demikian,

والتصدق بزنة شعره ذهباً أو فضة عند المالكية والشافعية, وفضة عند الحنابلة

“Bersedekah dengan seberat rambut tersebut yaitu emas atau perak menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah atau perak saja menurut Hanabilah.”[6]

Demikian juga penjelasan Al-Mubarakfury, boleh emas atau perak. Beliau berkata,

ويتصدق بوزن شعر رأسه ذهبا أو فضة

“bersedekah seberat rambut bayi dengan emas atau perak.”[7]

Apakah khusus bayi laki-laki saja?

Yang lebih mendekati kebenaran adalah sunnah ini bagi bayi laki-laki dan bayi wanita. Karena praktek ini juga untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan

وزنت فاطمة شعر حسن وحسين وزينب وأم كلثوم فتصدقت بزنة ذلك فضة

Fatimah menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum, dan beliau bersedekah dengan perak seberat rambut itu.[8]
Syaikh Al-‘Utsaimin salah satu ulama yang berpendapat sunnah ini khusus bagi bayi laki-laki saja, tidak bagi bayi wanita. Beliau berkata,

أما الأنثى فلا يحلق رأسها

“Adapun bayi perempuan maka tidak dicukur rambutnya.”[9]

Demikian semoga bermanfaat



@Gemawang, Yogyakarta tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com



[1] HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh AL-Albani dalam Shahih Tirmidzi

[2] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab 8/414

[3] Al-Mugni 9/365

[4] Al-Muasu’ah Fikhiyyah 26/107

[5] Mirqatul Mafaatiih 6/10, Darul Fikr

[6] Al-Muasu’ah Fikhiyyah 26/107

[7] Tuhfatul Ahwadzi, Darul Kutub Al-Ilmiyyah

[8] Lihat Tuhfatul Maulud Ibnu Qayyim AL-Jauziyyah

[9] Majmu’ Al-Fatawa Syaikh Al-‘Utsaimin 25/244


__
Telegram (klik): bit.ly/muslimafiyah
Broadcast WA muslimafiyah: 0895351217650
(Simpan nomornya, Kirim Pesan via WA ا:
[Nama Lengkap-Kota]
Direkap tiap hari Ahad)

Perkataaan Ulama Islam tentang Mengkhususkan Ibadah di Bulan Suci Rajab

Perkataaan Ulama Islam tentang Mengkhususkan Ibadah di Bulan Suci Rajab

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:

Saudaraku seiman…

Karena kita sudah memasuki bulan Rajab yang suci, maka sebagai muslim, kita  diperintahkan untuk mensucikannya dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan zhalim, sebagaimana yang dilarang oleh Allah Ta’ala di dalam Al Quran

{ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ } [التوبة: 36]

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” QS. At Taubah: 36.

Syeikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata:

يحتمل أن الضمير يعود إلى الاثنى عشر شهرا، وأن اللّه تعالى بين أنه جعلها مقادير للعباد، وأن تعمر بطاعته، ويشكر اللّه تعالى على مِنَّتِهِ بها، وتقييضها لمصالح العباد، فلتحذروا من ظلم أنفسكم فيها.

ويحتمل أن الضمير يعود إلى الأربعة الحرم، وأن هذا نهي لهم عن الظلم فيها، خصوصا مع النهي عن الظلم كل وقت، لزيادة تحريمها، وكون الظلم فيها أشد منه في غيرها.

Artinya: “Bisa dimungkinkan kata ganti (yang ada pada “فيهن”) kembali kepada dua belas bulan, dan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia menjadikannya sebagai takdir seluruh hamba, dan hendaknya dimakmurkan (di dalamnya) dengan mengerjakan keta’atan kepada-Nya, dan bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat-Nya dan pembatasannya untuk kepentingan seluruh hamba, maka berhati-hatilah dari menzhalimi diri kalian di dalam bulan-bulan tersebut.”

“Dan dapat dimungkinkan bahwa kata ganti kembali kepada empat bulan yang suci, dan bahwa larangan ini buat mereka berbuat zhalim di dalamnya, terutama bersamaan dengan larangan berbuat zhalim pada setiap waktu, untuk tambahan pengharamannya dan perbuatan kezhaliman di dalamnya lebih da rinya di dalam selainnya.” Lihat kitab Tafsir As Sa’di, 336.

Dan termasuk perbuatan zhalim yang dilakukan di dalam bulan suci Rajab ini adalah melakukan perbuatan bid’ah yang menyerupai amalan yang disyari’atkan tetapi ternyata tidak sama sekali dalil shahih baik secara sanadnya ataupun pendalilannya yang menunjukkan disyariatkannya amalan tersebut.

Maka di bawah ini saya akan sebutkan beberapa perkataan ulama Islam dari mulai zaman shahabat sampai zamannya para imam dan huffazh tentang TIDAK ADA AMAL IBADAH KHUSUS KARENA BULAN RAJAB YANG DI DASARI OLEH DALIL YANG SHAHIH.

Mari perhatikan perkataan mereka:

عَنْ خَرَشَةَ بْنِ الْحُرِّ ، قَالَ : رَأَيْت عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ الْمُتَرَجِّبِينَ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الطَّعَامِ . وَيَقُولُ : كُلُوا ، فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَتْ تُعَظِّمُهُ الْجَاهِلِيَّةُ .

Artinya: “Kharsyah bin Al Hurr berkata: “Aku telah melihat Umar radhiyallahu ‘anhu memukul telapak tangan-telapak tangan orang-orang yang berpuasa karena bulan Rajab, dan beliau berkata: “Makanlah, karena sesungguhnya ia adalah bulan yang dahulunya orang-orang jahiliyyah.” HR. Ibnu Abu Syaibah dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Irwa’ Al Ghalil, 4/113.

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : كَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا رَأَى النَّاسَ ، وَمَا يُعِدّونَ لِرَجَبٍ ، كَرِهَ ذَلِكَ.

Artinya: “Waki’ meriwayatkan dari ‘Ashim bin Muhammad, ia meriwayatkan dari bapaknya, bahwa ia berkata: “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah beliau jika melihat orang-orang dan apa yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, beliau membenci hal itu.” HR. Ibnu Abi Syaibah.

عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: عن عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ, فَقَالَ عُرْوَةُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَلَا تَسْمَعِينَ مَا يَقُولُ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَتْ: مَا يَقُولُ؟ قَالَ: يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ فَقَالَتْ: يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمْرَةً إِلَّا وَهُوَ شَاهِدٌ وَمَا اعْتَمَرَ فِي رَجَبٍ قَطُّ

Artinya: “Mujahid rahimahullah berkata: “Urwah bin Zubair meriwayatkan,beliau berkata: “Wahai Ummul Mukminin, apakah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Abdurrahman (Ibnu Umar) radhiyallahu ‘anhuma?”, beliau menjawab: “Apa yang ia katakan?”, beliau berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berumrah sebanyak empat kali, salah satunya di dalam Rajab”, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berumrah kecuali ia bersamanya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berumrah sama sekali di dalam Rajab.” HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani. 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ » .

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada Far’a dan tidak ada ‘Atirah (hewan yang disembelih karena bulan Rajab).” HR. Bukhari.

Abu Manshur Al Kahththabi (w:525H) rahimahullah berkata:

أما صلاة الرغائب فاتهم بوضعها على بن عبد الله ابن جهضم وضعها على رجال مجهولين لم يوجدوا في جميع الكتب .... وهو حديث أطول من طويل جمع من الكذب والزور غير قليل

“Adapun Hadits tentang shalat Ar Raghaib, maka telah dituduh yang memalsukannya adalah Ali bin Abdullah bin Jahdham, ia palsukan atas perawi-perawi yang majhul yang mereka (biorgrafinya) tidak ada di dalam seluruh kitab…(lalu beliau berkata:)…”Dan ia adalaha hadits yang panjang sekali, kumpulan dari dusta dan kebohongan yang tidak sedikit.” Lihat kitab Al Baits ‘Ala Inkar Al Bida’ Wa Al Hawadits, hal. 43.

Berkata Imam Yahya bin Syaraf An Nawawi (w: 676H) rahimahullah berkata:

واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب قاتل الله واضعها ومخترعها فانها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات ظاهرة وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها ودلائل قبحها وبطلانها وتضلل فاعلها أكثر من أن تحصر والله أعلم

“Dan para ulama berpendapat tentang kemakruhan shalat yang bid’ah ini yang dinamai dengan ar Raghaib, semoga Allah menghancurkan pembuat palsunya, karena sesungguhnya ia adalah shalat yang bid’ah munkar termasuk dari bid’ah-bid’ah yang ia adalah kesesatan dan kebodohan, dan di dalamnya terdapat kemungkarankemungkaran yang sangat jelas, sekolompok ulama telah menulis di dalam tulisan yang bgaus tentang keburukan shalat tersebut dan kesesatan orang yang melakukan shalat tersebut dan kebid’ahan yang melakukannya, sedangkan dalil buruknya dan batalnya serta sesatnya pelakunya, sangatlah banyak untuk dihitung, wallahu a’lam.” Lihat kitab Syarah Shahih Muslim, 8/20.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w: 728H) rahimahullah berkata:

وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ، فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ، بَلْ مَوْضُوعَةٌ، لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا، وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ، بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ

“Adapun Berpuasa pada bulan Rajab dengan mengkhususkannya, maka hadits-haditsnay seluruhnya lemah bahkan palsu, tidak dianggap oleh para ulama satupun darinya, dan bukan dari hadits lemah yang diriwayatkan di dalam bab Fadhail Amal, akan tetapi seluruhnya dari hadits-hadits palsu dan dusta.” Lihat kitab Majmu’ Al Fatawa, 25/290.

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah (w:751H) rahimahullah berkata:  

وكل حديث في ذكر صوم رجب وصلاة بعض الليالي فيه فهو كذب مفترى

“Dan setiap hadits tentang menyebutkan puasa (khusus) bulan Rajab dan shalat di sebagian malam di dalamnya maka ia adalah dusta dan ngibul.” Lihat kitab Al Manar Al Munif, hal. 96.

Ibnu Rajab Al Hambanli (w: 795H) rahimahullah berkata:

فأما الصلاة فلم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Adapun shalat, maka tidak shahih di dalam bulan Rajab sebuah shalat khusus yang dikhususkan di dalamnya dan hadits-hadits yang diriwayatkan di dalam keutamaan shalat raghaib di dalam awal malam Jumat dai bulan Rajab adalah hadits dusta dan batil, tidak shahih dan shalat ini adalah bid’ah menurut Jumhurul Ulama.” Lihat Kitab Lathaif Al Ma’arif, hal. 130.

Ibnu Rajab Al Hambali (w: 795H) rahimhullah juga berkata:

و أما الصيام فلم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه و سلم و لا عن أصحابه

“Dan adapun berpuasa maka tidak shahih di dalam keutamaan berpuasa Rajab dengan kekhususannya riwayat dari Nabi Muhamma shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.” Lihat Kitab Lathaif Al Ma’arif, hal. 130.

Al Hafizh Ali Ibnu Hajar (W:852h) rahimahullah:

لم يرد في فضل شهر رجب، ولا في صيامه، ولا في صيام شيء منه، - معين، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه - حديث صحيح يصلح للحجة، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ، رويناه عنه بإسناد صحيح، وكذلك رويناه عن غيره،

“Tidak terdapat di dalam keutamaan bulan Rajab, tidak juga di dalam berpuasa padanya, tidak juga di dalam berpuasa khusus darinya secara tertentu dan tidak juga di dalam bangun malam khusus di dalamnya, sebuah hadits shahihpun yang cocok digunakan untuk hujjah (sandaran hokum), dan telah mendahuluiku kepada penegasan kepada hal itu Imam Al Hafizh Abu Ismail Al Harawi dan kami telah riwayatkan dari beliau dengan sanad shahih dan demikian pula kami mendapatkan riwayat dari selainnya.” Lihat kitab Tabyinul Ajab bima arada fi Syahri Rajab, Hal. 02.

وأما الأحاديث الواردة في فضل رجب، أو فضل صيامه، أو صيام شيء منه صريحة، فهي على قسمين: ضعيفة، وموضوعة. ونحن نسوق الضعيفة ونشير إلى الموضوعة إشارة مفهمة.

Al Hafizh Ali Ibnu Hajar (w:852H) rahimahullah berkata:

“Dan adapun hadits-hadits yang terdapat di dalam keutamaan bulan Rajab atau keutamaan berpuasa padanya atau berpuasa sesuatu darinya, secara jelas, maka ia ada dua macam; hadits-hadits yang lemah dan hadits-hadits palsu dan kami menyebutkan hadits-hadits lemah dan kami akan berikan isyarat kepada hadits yang palsu dengan isyarat yang dapat dipahami.” Lihat kitab Tabyinul Ajab bima arada fi Syahri Rajab, Hal. 03.

As Suyuthi (w:911H) rahimahullah berkata:

وذكر أبو الخطاب في كتاب أداء ما وجب في بيان وضع الواضعين في رجب.

عن المؤثر بن أحمد الساجي الحافظ، قال: كان الإمام عبد الله الأنصاري شيخ خراسان لا يصوم " رجباً " وينهى عنه، ويقول: ما صحّ في فضل رجب ولا صيامه شيء عن رسول الله

“Abu Al Khaththab meriwayatkan di dalam kitab “Adau Ma Wajaba Fi bayani Wadh’I Al Wadhdha’in Fi Rajab”, dari Al Muatstsir bin Ahmad As Saji Al Hafizh,ia berkata: “Imam Abdullah Al Anshari Ulama daerah Khurasan tidak berpuasa karena bulan Rajab dan beliau melarang hal itu, beliau berkata: “Tidak ada yang shahih di dalam keutamaan bulan Rajab dan di keutamaan puasa di dalamnya satu hadits pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lihat kitab Al Amru Bil ittiba’ wa An Nahyu ‘an Al Ibtida’, hal. 17.

As Suyuthi (w:911H) rahimahullah juga berkata:

وورد في فضل صومه أحاديث لم يثبت منها شيء بل هي ما بين منكر وموضوع

“Dan telah terdapat tentang keutamaan berpuasa (pada bulan Rajab) hadits-hadits yang tidak satupun yang shahih darinya, bahkan hadits-hadits tersebut antar mungkar dan palsu (derajatnya).” Lihat kitab Asy Syamarikh Fi ‘Ilmi At Tarikh, hal. 40.

Muhammad bin Ali Asy Syaukani (w: 1250H) rahimahullah berkata:

قال علي بن إبراهيم العطار في رسالة له إن ما روى من فضل صيام رجب فكله موضوع وضعيف لا أصل له قال وكان عبد الله الأنصاري لا يصوم رجبا وينهى عنه ويقول لم يصح عن النبي صلى الله عليه و سلم في ذلك شيء

“Berkata Ali bin Ibrahim Al ‘AthThar di dalam tulisan beliau: “Sesungguhnya apa yang diriwayatkan berupa keutamaan berpuasa Rajab, maka seluruhnya adalah palsu dan lemah, tidak ada asal riwayatnya, beliau juga berkata: “Abdullah Al Anshari tidak berpuasa Rajab dan melarang melakukannya dan belaiu berkata: “Tidak shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu sedikitpun.” Lihat kitab Al Fawaid Al Majmu’ah Fi Al Ahadits Al Maudhu’ah, hal. 440.

Muhibbuddin Al Khathib (w: 1389H) rahimahullah berkata:

كل من سبر كتب الأحاديث الموضوعة علم أنه لم يصح في صوم رجب حديث ولا أثر.

“Setiap yang meneliti kitab-kitab hadits-hadits palsu, niscaya mengetahui bahwa tidak shahih tentang puasa (khusus) Rajab satu hadits atau atsarpun.” Lihat kitab Ishlah Al Masajid.

Syeikh Sayyid Sabiq (W: 1420H) rahimahullah berkata:

وصيام رجب، ليس له فضل زائد على غيره من الشهور، إلا أنه من الاشهر الحرم. ولم يرد في السنة الصحيحة: أن للصيام فيه فضيلة بخصوصه، وأن ما جاء في ذلك مما لا ينتهض للاحتجاج به.

“Berpuasa (khusus) bulan Rajab, tidak mempunyai keutamaan tambahan dibandingkan selainnya dari bulan, kecuali bahwasanya ia termasuk dari bulan-bulan suci, dan tidak terdapat di dalam sunnah yang shahih, bahwa berpuasa di dalamnya terdapat keutamaan tersendiri secara khusus, dan bahwa apa yang datang dari riwayat yang berkenaan dengan itu termasuk dari yang tidak bisa naik untuk bersandarkan dengannya.” Lihat kitab Fikih Sunnah, 1/383.

Muhammad bin Abdussalam Asy Syuqairi (w: abad ke 14H) rahimahullah:

ثم اعلم أن كل حديث في صلاة أول رجب أو  وسطه أو آخره - فغير مقبول لا يعمل به ولا يلتفت إليه . 

“Kemudian ketauhilah bahwa setiap hadits di dalam shalat awal Rajab atau pertengahannya atau akhirnya, tidak diterima, tidak diamalkan dengannya dan tidak (pantas untuk) ditoleh.” Lihat kitab As Sunan Wa Al Mubtada’at al Muta’alliqat bi Al Adzkar wa Ash Shalat, hal. 141.



Ditulis oleh Ahmad Zainuddin

Hasil Tes DNA Bisa Jadi Tidak Diterima Dalam Hukum Islam (nasab syar’i)

-Di zaman ini untuk menentukan anak siapa bisa digunakan pemeriksaan DNA, yang pemeriksaan ini cukup valid

-Dalam Islam dikenal: nasab syar'i  dan nasab biologis

-Nasab syar'i adalah nasab secara agama dan diakui oleh agama, sedangkan nasab biologis adalah nasab keturunan. 

-Hukum waris , mahram, hak wali dll yang diakui dan teranggap adalah nasab syar'i

-Agar jelas perhatikan contoh berikut: Jika menikah dengan sah, maka anak adalah itu adalah nasab syar'i dan nasab biologis

-Nasab biologis tapi bukan nasab syar'i:
Jika seseorang berzina dan hamil kemudian menikah kedua pasangan zina tersebut, makan anak  tersebut adalah anak zina, nasab biologisnya kepada kedua orang tuanya, tetap nasab syar'inya tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya

-Nasab syar'i tapi bukan nasab biologis:
Jika seseorang wanita bersuami berzina dengan laki-laki lain, kemudian  hamil dan tidak ketahuan, maka anak tersebut nasab syar'i kepada suami yang sah dan nasab biologisnya,

Atau ketahuan oleh suaminya akan tetapi suami tidak menolak dan tidak mempermasalahkan (misalnya tidak mengadukan ke qhadi dan  tidak menuduh zina istrinya). Karena ada hadits: (hukum asal) anak dinisbatkan (nasab syar'i) kepada pemilik ranjang (suami)

-Nah, pemeriksaan DNA misalnya pada kasus perzinahan hanya menentukan nasab biologis saja. Dengan kasus diatas bisa saja tidak diterima nasab syar'inya dalam Islam. Selama suami tidak mengajukan permasalahm zina ke qadhi.

Dalam hadits,

“Anak yang lahir adalah bagi pemilik kasur (dinasabkan kepada suami yang sah), dan seorang pezina tidak punya hak (pada anak hasil perzinaannya).”[2]

Baca selengkapnya ا:

http://muslimafiyah.com/hasil-tes-dna-tidak-diterima-dalam-hukum-islam-nasab-syari.html

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

__
Telegram (klik): bit.ly/muslimafiyah
Broadcast WA muslimafiyah: 0895351217650
(Simpan nomornya, Kirim Pesan via WA ا:
[Nama Lengkap-Kota]
Direkap tiap hari Ahad)                        
[21:37, 3/28/2017] Muslimafiyah Brodcats: # "Ghuluw"/Berlebihan Terhadap Orang Shalih


Ghuluw"/Berlebihan Terhadap Orang Shalih

#IndonesiaBertauhid

-Hal ini dibahas dalam pelajaran TAUHID, bagaimana setan memiliki trik yang "cukup pintar" agar manusia terjerumus dalam kesyirikan

-Setan memanfaatkan sikap berlebihan ini,
Yaitu terlalu berlebihan mengkultuskan, memuji berlebihan sampai taraf hak-hak ketuhanan

-Anda Tahu siapakah sebenarnya  berhala yang disembah Kafir Quraisy dahulunya? Ternyata mereka adalah orang-orang shalih dahulunya

misalnya Latta yang disebut dalam Al-Quran, Ia dahulunya adalah orang shalih yang sering membagikan roti bagi jamaah haji

-Begitu juga berhala pertama di muka bumi yang disembah oleh kaum nabi Nuh, mereka adalah orang-orang yang shalih

Allah berfirman,

” Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-
tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr .” (QS Nuh: 23)

-Iya benar, Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr adalah orang shalih dahulunya yang kemudian disembah

-Kok bisa disembah? Ibnu Abbas ahli tafsir menceritakan, bagaimana terjadinya kesyirikan PERTAMA KALI di muka bumi:

1. Ketika orang shalih ini meninggal, kaumnya mersana kehilangan sekali

2. Akhirnya datang bisikan setan agar membuat gambar dan patung orang shalih tersebut, bukan untuk disembah tetapi untuk mengingatkan agar kembali semangat beribadah

3. Lalu datanglah generasi mereka selanjutnya, maka setan membisikkan bahwa patung ini memiliki keistimewaan semisal bisa memberikan berkah dll

4. Lalu datang generasi selanjutnya yang makin jauh dengan ilmu agama, akhirnya Patung-patung tadipun disembah sebagai berhala

Selengkapnya baca ا:
muslimafiyah.com/ghuluwberlebihan-terhadap-orang-shalih.html

Penyusun: Raehanul Bahraen

__
Telegram (klik): bit.ly/muslimafiyah
Broadcast WA muslimafiyah: 0895351217650
(Simpan nomornya, Kirim Pesan via WA ا:
[Nama Lengkap-Kota]
Direkap tiap hari Ahad)

Ciri Dakwah Ahlus Sunnah Adalah Terdepan dan Memprioritaskan Mendakwahkan Tauhid

#IndonesiaBertauhid

Seseorang yang berjiwa hanif berusaha mencari jalan beragama atau metodologi beragama (manhaj) yang benar. Beberapa orang mungkin ada yang bingung mana manhaj yang benar? Semua mengaku ahlus sunnah, jadi mana yang harus saya ikuti?

Salah satu cirinya adalah terdepan dan memprioritaskan dakwah tauhid dan pemurnian aqidah umat. Dari semua materi dakwah yang berusaha disampaikan, maka tidak lupa dengan dakwah tauhid yaitu mengesakan hak-hak khusus Allah dalam ibadah serta berusaha mengenalkan Allah kepada hambanya sedekat-dekatnya dengan mengenalnya melalui tauhid asma wa sifat.

Inilah metode dakwah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, perintah beliau kepada Muadz Bin Jabal tatkala berdakwah ke Yaman agar mendakwahkan tauhid dahulu,

"Hendaklah yang pertama kali engkau serukan adalah syahadat bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. ” (HR. Muslim). 

Memang semua materi dakwah penting, tetapi yang tetap menjadi prioritas serta perhatian adalah dakwah tauhid. Belajar shalat bisa jadi sekali saja sudah paham dan dipraktekkan, tetapi belajar  tauhid itu seumur hidup karena tauhid terkait dengan keimanan dan amalan hati, semisal cinta, takut, berharap dan sebagainya.

Misalnya lewat kuburan masih takut, aqidah kita mengajarkan orang mati sudah tidak bisa ke alam dunia, ketika belajar mungkin tidak takut, tapi berjalan waktu dan terpengaruh film, bisa jadi takut lagi lewat kuburan
maka belajar tauhid itu seumur hidup, kaorena ini rasa takut yang tidak pada tempatnya dan tidak akan muncul pada orang yang tauhidnya bagus.

Baca selengkapnya ا:

http://muslimafiyah.com/ciri-dakwah-ahlus-sunnah-adalah-terdepan-dan-mempriotitaskan-mendakwahkan-tauhid.html

Penyusun: Raehanul Bahraen

__
Telegram (klik): bit.ly/muslimafiyah
Broadcast WA muslimafiyah: 0895351217650
(Simpan nomornya, Kirim Pesan via WA ا:
[Nama Lengkap-Kota]
Direkap tiap hari Ahad)

Mengapa Allah Menggunakan Kata Ganti Jamak "Kami"?



Sebagaian kaum muslimin mungkin ada yang bertanya mengapa pada beberapa ayat Al-Quran Allah menggunakan kata ganti jamak (نحن/nahnu) "kami", padahal Allah Maha Esa

Jawabannya:
Dalam bahasa Arab, penggunaan kata jamak untuk tunggal itu bermakna pengagungan dan Allah berhak dengan keagungan ini. Bukan artinya Allah atau tuhan itu banyak

Berbeda dengan bahasa Indonesia, penggunaan kata "kami" untuk tunggal bermakna "merendah atau menghormati"

Misalnya pak RT ketika memegang jabatan:
"Kami memegang amanah ini ...

Dalam kamus Arab Al-Mu'jam dijelaskan makna lafadz "kami"

ﻧﺤﻦ ﺿﻤﻴﺮ ﻳﻌﺒﺮ ﺑﻪ ﺍﻻﺛﻨﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﻟﺠﻤﻊ ﺍﻟﻤُﺨْﺒِﺮﻭﻥ ﻋﻦ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ، ﻭﻗﺪ ﻳﻌﺒِﺮ ﺑﻪ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻋﻨﺪ ﺇﺭﺍﺩﺓ ﺍﻟﺘﻌﻈﻴﻢ

"Kata "kami" bisa digunakan untuk dua orang atau jamak untuk berbicara mewakili mereka. Terkadang juga (kami) disebutkan dalam bentuk tunggal untuk maksud pengagungan." [1]

Demikian juga penjelasan dan fatwa ulama, dalam fatwa Al-Lajnah  Ad-Daimah:

ﻣﻦ ﺃﺳﺎﻟﻴﺐ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻳﻌﺒﺮ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻀﻤﻴﺮ " ﻧﺤﻦ " ﻟﻠﺘﻌﻈﻴﻢ

"Termasuk ungkapan dalam bahasa Arab yaitu seseorang "tunggal" menyebut dirinya dengan kata ganti jamak "kami" untuk pengagungan" [2]

Bisa jadi maknanya mencakup jamak dari makna nama-nama Allah yang banyak (jamak). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

ﺻﻴﻐﺔ ﺍﻟﺠﻤﻊ ﺗﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﻌﻈﻴﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺴﺘﺤﻘﻪ ، ﻭﺭﺑﻤﺎ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺎﻧﻲ ﺃﺳﻤﺎﺋﻪ

"Lafadz  jamak bermaksud pengagungan sesuai dengan keagungan Allah dan bisa juga menunjukkan makna nama-nama Allah.[3]

Sangat tidak tepat mengatakan lafadz jamak ini bahwa Allah itu banyak dan berbilang, karena jelas bahwa Allah itu maha Esa.

ﻭَﺇِﻟَٰﻬُﻜُﻢْ ﺇِﻟَٰﻪٌ ﻭَﺍﺣِﺪٌ ۖ ﻟَﺎ ﺇِﻟَٰﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَٰﻦُ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ

Dan ilah-mu adalah ilah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]

Demikian semoga bermanfaat

@Yogyakarta Tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Catatan kaki:

[1] Kamus Al-Mu'jam Al-Wasith

[2] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 4/143

[3] Aqidah At-Tadrumiyah hal. 75

https://muslimafiyah.com/mengapa-allah-menggunakan-kata-ganti-jamak-kami.html

__
Telegram (klik): bit.ly/muslimafiyah
Broadcast WA muslimafiyah: 0895351217650
(Simpan nomornya, Kirim Pesan via WA ا:
[Nama Lengkap-Kota]
Direkap tiap hari Ahad)

Aku (Engkau) Bukanlah Musa dan Engkau (Aku) Juga Bukanlah Fir’aun

Hukum asalnya nasihat dan dakwah  adalah lemah-lembut,

Kepada orang selevel Fir’aun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman?. Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.

Berkata-kata kasar, tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku muslim Renungkan firman Allah Ta’ala:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. makaberbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang LEMAH-LEMBUT, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. [At-Thoha:43-44]

JELAS… AKU (ENGKAU) TIDAK SEBAIK NABI MUSA DAN ENGKAU (AKU) TIDAK SEBURUK FIR’AUN

Tidak layak bagi seseorang yang mengaku muslim tetapi suka dan hobi berdebat dan berkata-kata kasar, apalagi ditambah dengan bumbu caci-maki bahkan kotor. Padahal ajaran Islam tidak mengejarkan hal seperti ini. 

Ajaran islam mengajarkan berdebat (baca: berdiskusi) dengan tujuan yang baik yaitu menginginkan kebaikan kepada yang diajak berdiskusi, mengantarkan dan memberitahukan kebenaran. Jika diterima Alhamdulillah, jika tidak, mereka masih saudara se-Islam yang berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan, bukan langsung dimusuhi.

Terkadang dalam berdebat ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghapal dalil serta tidak tahu metode istidlal[mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.

Memang ada yang sudah hapal dalilnya dan mengetahui metodeistidlal , akan tetapi ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.

Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghapal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.

Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،

“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. [HR. Muslim 55/95]

Yang dimaksud dengan nasehat adalah mengkhendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.

Mengenai suka berdebat para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ “

 “Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah]

@Pogung Dalangan,  Yogyakarta Tercinta

Penyusun:   Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com


http://muslimafiyah.com/aku-bukanlah-musa-dan-engkau-juga-bukanlah-firaun.html

__
Telegram (klik): bit.ly/muslimafiyah
Broadcast WA muslimafiyah: 0895351217650
(Simpan nomornya, Kirim Pesan via WA ا:
[Nama Lengkap-Kota]
Direkap tiap hari Ahad)

Hukum Menjadi Vegetarian

Vegetarian sebagaimana yang kita tahu adalah mereka yang tidak memakan daging hewan secara total atau hal-hal yang berasal dari hewan dengan berbagai alasan mulai dari kesehatan versi mereka atau keyakinan-keyakinan tertentu.

Ternyata vegetarian kurang baik secara medis dan agama pun melarangnya

Menjadi vegetarian dirinci sesuai niat:

1. Jika niatnya beribadah maka ini adalah sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam ibadah (bid’ah).

2. Tidak ada niat ibadah, niatnya hanya sekedar melarang diri maka ia telah mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan juga jika tidak baik untuk kesehatan, maka ini juga dilarang oleh agama.

Jika niatnya beribadah

Tidak ada dalam ajaran Islam beribadah dengan cara tidak makan daging, bahkan ini bisa menjadi tasyabbuh menyerupai ibadah suatu kaum yang ibadah mereka mengharamkan makan daging hewan menurut agama mereka.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda,

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak”1.

Bahkan ada hadits terkait tentang hal ini yaitu ada sahabat yang berniat tidak akan makan daging dengan tujuan agar lebih beribadah, maka ini dilarang oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,

Ketiga: bisa berbahaya bagi kesehatan.

Vegetarian akan kekurangan vitamin B 12 yang hanya ada pada hewan (katanya), padahal vitamin ini cukup penting teruatam ketika hamil dan keadaan lainnya. Selain itu ada juga zat gizi lainna yang cukup penting dan kandungannya tinggi pada hewan. Jika memang berbahaya maka ini dilarang oleh agama.

Selengkapnya ا:

https://muslim.or.id/27941-hukum-menjadi-vegetarian.html

Penyusun: Raehanul Bahraen

__
Telegram (klik): bit.ly/muslimafiyah
Broadcast WA muslimafiyah: 0895351217650
(Simpan nomornya, Kirim Pesan via WA ا:
[Nama Lengkap-Kota]
Direkap tiap hari Ahad)